Testing Title - For Acne Treatment Blog

Deskripsi disini

Diskriminasi karena Ilmu, Bentuk Bullying yang tidak kita sadari

Posted by Sri Rejeki Minggu, 13 November 2011 0 komentar
Sudah lama aku ingin menulis salah satu permasalahan yang sering dialami oleh para pelajar Indonesia sejak mereka bersekolah dari SD hingga kuliah di perguruan tinggii yaitu diskriminasi karena ilmu. Bila sekarang "bullying" dalam bentuk pengejekan, pemalakan, dan kekerasan fisik baru hangat-hangat dibicarakan,  diskriminasi  atas dasar ilmu antara IPA dan IPS yang merupakan bentuk bullying yang laten dan seolah-olah dilembagakan oleh sekolah-sekolah, malah kurang disinggung.



Anak-anak IPS dianggap anak-anak buangan, anak-anak yang kurang cerdas dan selalu bikin masalah. Maka tak heran dengan adanya stereotype ini, anak-anak IPS banyak yang membangkang karena adanya penilaian yang cendrung merendahkan. Mereka kurang "dilihat potensinya" dan didorong mengembangkannya oleh guru-guru mereka sendiri. Di rumah sendiri pun, banyak orang tua yang memaksakan anak-anaknya masuk jurusan IPA dengan alasan gengsi bukan melihat pada bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya.

Penulis sendiri dan mungkin teman-teman yang sama punya otak IPS pernah mengalami hal di atas saat belajar di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Waktu itu ada kuis Digitally LG Prima untuk siswa-siswi SMA. Hadiahnya begitu menggiurkan dari uang tunai, hingga sekolah gratis di luar negeri. Sehingga banyak pelajar nusantara yang berbondong-bondong ikut seleksi. Sekolahku pun mendapatkan giliran, tapi sayangnya hanya anak-anak IPA yang diikutsertakan. Anak IPS ngak ada seorangpun yang diberitahu. Di sini, terlihat adanya anggapan anak IPA lebih pintar, lebih mampu untuk lolos seleksi . Padahal, pertanyaan-pertanyaan yang diujikan imbang antara pengetahuan umum dan hitung-hitungan sederhana.


Peristiwa kedua yang sangat mengecewakan penulis adalah ketika ikut seleksi kerja di perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia. Memasuki arena psikotes, banyak sekali mahasiswa yang mengikuti seleksi itu, seolah-olah mewakili berbagai jurusan dengan kelebihan masing-masing. Tapi setelah membuka soal psikotes..loh..loh kok lebih banyak hitung-hitungannya. Bukannya aku melamar posisi public relation officer bukan engineer di sana?. Tapi soal-soalnya kok ngak dibedakan antara kebutuhan pelamar di bidang engineering dengan public relation. Apakah orang yang paling pintar hitung-hitungan akan cocok di PR?

Metode screening seperti ini bias karena hanya akan mengantarkan orang yang lebih jago di bidang matematis yang lolos, bukan orang yang cocok di bidang yang dilamar tetapi kemampuan matematikanya lebih rendah.

Padahal kecerdasan itu tidak diukur dengan dimana dan pada keilmuan apa seseorang berdiri. Kecerdasan seseorang dilihat dari keterampilan berpikir, yang meliputi pola dan cara ia menggerakkan otaknya dalam memahami sesuatu. Anak IPA belum tentu lebih terampil dalam menggunakan pikirannya ketimbang anak-anak IPS begitu sebaliknya. Yang perlu ditanamkan kepada anak-anak adalah menjadi sebaik-baiknya pada bidang yang mereka pilih, entah itu sains, ilmu sosial, olah raga, bahasa atau musik.
 

Mengingkari bakat alami yang dimiliki oleh anak-anak akan membuat mereka tidak bisa menikmati apa yang mereka kerjakan. Alih-alih bisa berprestasi secara gemilang, anak-anak akan merasa terpaksa menjalankannya, bahkan stress karena hal itu bukan merupakan "passion" mereka. Nah kalau seperti ini, siapa yang rugi kalau bukan anak itu sendiri.

Memaksakan anak-anak untuk belajar atau mengerjakan hal yang tidak mereka sukai, baik dari orang tua dan guru di sekolah atas dasar gengsi merupakan bentuk bullying yang paling kejam, namun tidak kita sadari selama ini.
Description
: Diskriminasi karena Ilmu, Bentuk Bullying yang tidak kita sadari
Rating
: 4.5
Reviewer
: Sri Rejeki
ItemReviewed
: Diskriminasi karena Ilmu, Bentuk Bullying yang tidak kita sadari

0 komentar:

Posting Komentar

Just Testing

Recent Post

More